Dipanggil dengan Panggilan Kudus:

Oleh: Martin Simamora

Menunjukan Iman dengan Perbuatan-Perbuatan

Apakah yang terjadi jika Ia memanggil? Satu hal yang pasti adalah panggilan-Nya membentuk kehidupan siapapun manusia yang dipanggil itu, tepat sebagaimana maksudnya. Nampak jelas bahwa kedatangan  Sang Kristus ke dalam dunia tidak menumpukan kemampuan manusia untuk secara  jitu memahami apakah yang menjadi maksud Tuhan didalam  panggilan-Nya, ketika dipanggil tetapi berdasarkan maksud kekal-Nya. Rasul Paulus menuliskan kebenaran ini dalam sebuah untaian kata yang menjelmakan kalimat yang secara kuat menunjukan bahwa panggilan Kristus terhadap seorang manusia itu mengakibatkan perjumpaan yang ajaib bagi manusia untuk masuk kedalam maksud atau tujuan Allah bagi kehidupan yang harus dijalaninya:

“Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman” – 2Timotius 1:9

Ketika Kristus memanggil, realitas manusia tersingkapkan. Panggilan Kristus tak terpisahkan dari realitas  relasi Sang Dia terhadap manusia yang dipanggil-Nya, yaitu: Dialah yang menyelamatkan kita. Ini luar biasa sebab dengan demikian pemanggilan oleh Sang Kristus akan senantiasa bertaut dengan Ia menyelamatkan, jadi tak pernah diselamatkan lalu terserah manusia itu mau kemanapun ia mau. Kodrat manusia dalam ketakberdayaan untuk menyelamatkan dirinya sendiri ditunjukan dengan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita. Di sini kita melihat sebuah pasangan pada apa yang tidak dapat dilakukan manusia dan apa yang menjadi solusi yang disediakan Allah untuk dilekatkan pada manusia yang tak berdaya, pasangan yang saya maksudkan adalah:

-Dialah yang menyelamatkan kita
-memanggil berdasarkan kasih karunia-Nya sendiri, bukan berdasarkan perbuatan

Panggilan, pada umumnya karena sebuah pemenuhan akan kualifikasi dan sejumlah keunggulan yang dibutuhkan. Di dunia ini jika anda  dipanggil bekerja atau dipanggil masuk ke sekolah atau institusi pendidikan, itu pasti karena anda memenuhi kualifikasi yang terujikan. Tidak ada panggilan tanpa sebuah “keistimewaan” yang anda usahakan atau miliki. Tetapi pada  panggilan yang sedang dibicarakan di dalam Kristus, itu tak nampak sebab panggilan itu terjadi bukan karena kualifikasi yang bagaimanapun juga tetapi berdasarkan “pengaruniaan” atau dialami  berdasarkan kasih karunia.


Tetapi, apakah dengan demikian, panggilan Kristus begitu murahan dan begitu sembrono? Mengejutkannya ada sebuah kualifikasi disematkan pada panggilan Allah dalam Kristus pada manusia yang sama sekali mustahil disematkan oleh manusia dalam menentukan seseorang dipanggil. Kualifikasi berarti sebuah kualitas dan kemampuan yang telah  dimiliki dan bukan sedang diupayakan untuk dimiliki, di sini kualifikasi panggilan Allah adalah “memanggil kita dengan panggilan kudus.” Sekarang kita dapat melihat di dalam Kristus setiap yang dipanggilnya akan berinteraksi dan berdinamika dengan kekudusan Allah yang bersemayam di dalam panggilan-Nya.

Tentu pertanyaannya, kemudian, bukankah ini sebuah kekonyolan bagi Allah untuk begitu saja mempercayai manusia dengan sebuah  kualifikasi yang teramat mulia, yaitu panggilan kudus?! Bagaimana mungkin “kudus-Nya Allah” dalam panggilan itu tidak menjadi dipermalukan, dan siapakah yang menjamin bahwa kekudusan Allah tidak percuma bertakhta di dalam panggilan-Nya kepada seorang manusia? Mengapa terburu-buru memanggil seorang manusia dengan sebuah panggilan yang terlampau mulia? Jawaban untuk pertanyaan ini, secara lugas dijawab oleh rasul Paulus sendiri dengan jawaban yang hanya Allah dapat menyediakannya, yaitu:

berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman”


Apa yang terutama di sini, Allah tak pernah begitu naïf dan begitu bodoh dalam memberikan kekudusannya terhadap manusia yang sama sekali tak kudus, bahkan yang membutuhkan keselamatan atau ia sama sekali tak layak untuk sekedar berdiri menerima panggilan tersederhana untuk maksud yang baik, tak perlu yang mulia. Ia tak naïf dan sembrono karena dalam Ia memanggil dengan panggilan kudus, Ia memiliki maksud. Tentunya maksud yang besar dan selaras dengan panggilan kudus-Nya bagi manusia. Tetapi bagaimana bisa Ia tidak menistakan diri-Nya sendiri  dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilahirkan  manusia-manusia yang membutuhkan waktu yang panjang, kompleks dan ketekunan untuk sekedar menaklukan diri pada firman atau sabda Allah yang berkehendak atas hidupnya, hidupku, hidup anda? Bukankah saya dan anda bukan manusia-manusia instan sekalipun bisa jadi anda cukup sering makan makanan instan seperti indomi, supermi, sarimi, dan lain-lain? Maksud saya, sekalipun manusia mengenal teknologi pangan untuk menciptakan keinstanan bagi kehidupannya, tetapi ia tak dapat membuat hidupnya instan dalam memenuhi kehendak-kehendak Allah. Tentu Allah tahu sekali, lebih tahu daripada anda dan saya.



Rasul Paulus berkata dalam ekspresi yang menunjukan ketakmampuan manusia untuk pada dirinya dapat memenuhi kehendak Allah dalam cara yang bagaimanapun panjangnya proses yang diperlukan agar manusia masuk dalam relasi dengan Allah yang kudus dan dalam kekudusan dalam keotentikan diri. Paulus menuliskan:

menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita”


Begini, "bukan berdasarkan perbuatan" kita tidak sama sekali sedang menunjukan saya dan anda tak mampu meproduksikan apa yang dikenali sebagai berbagai kebaikan, kebajikan, kebijaksanaan, hikmat dan pengertian yang sanggup mengenali, mengindentifikasikan dan menelanjangi kejahatan dan kelicikan dalam dunia manusia yang pada sisi gelap dan abu-abunya. Bukan itu sama sekali, karena dalam hal itu manusia sanggup. Itu diakui oleh Paulus pada kualitas-kualitas yang dapat dilakukan manusia, tetapi sekalipun demikian manusia tak dapat menyelamatkan dirinya yang entah bagaimana, apapun kemuliaan yang diproduksi jiwa manusia tak sanggup menghentikan Allah atau membuat Allah memiliki gagasan pada kesanggupan manusia untuk melakukan satu-satunya jalan keluar yang hanya dapat dilakukan-Nya: “menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus.”


Jika berdasarkan perbuatan maka manusia tak mampu hidup dalam relasi kudus dan memiliki pengudusan dengan Allah. Ini tragedi dan kalau kembali ditanyakan apakah Allah tidak naïf, jawabannya ada pada kapankah Allah merencanakan, menghendaki dan menetapkan diri-Nya sendiri untuk memanggil dengan panggilan kudus: “sebelum permulaan zaman.” Dan apakah dasarnya Allah mengenali ketakberdayaan substantif manusia dengan segala dinamika dan dengan segala dilema manusia, sementara Ia Allah yang tak bercela dan tak bertubuh daging? Apakah dasarnya agar penghakiman dan jalan keluar yang ditetapkannya memang benar-benar seotentik-otentiknya sebagaimana manusia itu ada dengan segala keunggulan dan kekuarangannya? Jawabannya ada pada: ” telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus.”


Sekarang kita melihat pasangan kebenaran ini ”dikaruniakan dalam Kristus Yesus” dan “sebelum permulaan zaman” menunjukan Ia tahu dalam pengetahuan yang sebelum segala sesuatu ada dan setelah segala sesuatu ada tanpa kegagalan dan tanpa ada satu saja ketergelinciran pada diri Allah sampai-sampai begitu berani menentukan tak ada satupun manusia dapat berelasi dengan Allah secara kudus jika bukan berdasarkan panggilan yang terlembaga didalam Sang Kristus yang memang ditetapkan sebagai satu-satunya keselamatan yang berdasarkan panggilan yang kudus. Ini tepat sebagaimana Sang Mesias sabdakan:

“Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.” Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu."- Lukas 10:21-22


Dimanakah permulaan kehidupan dengan relasi yang kudus terhadap Allah? Siapakah yang membangun kekudusan dan siapakah yang menetapkan standard kekudusan sehingga Ia berkenan kepada seorang manusia? Manusiakah atau Tuhankah? Kebaikan dan kemuliaan seperti apakah yang sanggup membuat “api kemuliaan Tuhan menghampirinya” dan “kesempurnaan seperti apakah persembahan hidup kepada Tuhan” di hadapan para lawan kebenaran harus kukerjakan dan kusiapkan supaya nampak nyata sebagai kebenaranku. Perhatikan kasus nabi Elia sebagai cermin diri:

1Raja-Raja 18:32-35,38 Ia mendirikan batu-batu itu menjadi mezbah demi nama TUHAN dan membuat suatu parit sekeliling mezbah itu yang dapat memuat dua sukat benih. Ia menyusun kayu api, memotong lembu itu dan menaruh potongan-potongannya di atas kayu api itu. Sesudah itu ia berkata: "Penuhilah empat buyung dengan air, dan tuangkan ke atas korban bakaran dan ke atas kayu api itu!" Kemudian katanya: "Buatlah begitu untuk kedua kalinya!" Dan mereka berbuat begitu untuk kedua kalinya. Kemudian katanya: "Buatlah begitu untuk ketiga kalinya!" Dan mereka berbuat begitu untuk ketiga kalinya, sehingga air mengalir sekeliling mezbah itu; bahkan parit itupun penuh dengan air… Lalu turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya.

Tidak akan ada pujian bagi Elia baik pada dirinya dan pada perbuatannya dihadapan para musuh dan umat-Nya. Tak ada satupun kepantasan bagi api untuk menyala pada kayu bakar yang dibasahkuyupkan oleh air yang dilimpahruahkan. Ketololan seperti apa yang hendak dipamerkan? Tidak ada dan Elia tidak memiliki itu selain sebuah kesadaran bahwa hanya Allah saja yang sanggup mendatangkan pertobatan pada manusia:

“Jawablah aku, ya TUHAN, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya TUHAN, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali."- 1 Raja-Raja 18:37


Jadi apapun dan bagaimanapun mezbah didirikan berdasarkan ketentuan Tuhan, tetapi pertobatan tidak akan datang dari mezbah tersebut selain jika Tuhan yang membuat hati mereka tobat kembali. Bagi Elia ini adalah misteri begitu besar dan ia hanya dapat berseru, berteriak memohon Allah bermurah hati kepada siapapun Ia mau bermurah hati:
“Kemudian pada waktu mempersembahkan korban petang, tampillah nabi Elia dan berkata: "Ya TUHAN, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini.”- 1 Raja-Raja 18:36

Nabi Elia tidak tahu sama sekali atau buta sama sekali akan apa yang terjadi dan siapakah yang akan mengetahui bahwa IA adalah Allah di tengah-tengah Israel. Bukankah begitu mustahil bagi manusia untuk memperkenalkan Allah yang tak dapat dilihat? Bukankah lebih gila lagi untuk manusia bisa menentukan bagaimanakah Allah harus hadir dan tepat sebagaimana ia berkata, nanti? Bagaimana kalau Allah tak menjawab? Bagaimana kalau ia salah? Satu-satunya batu kokoh bagi Elia untuk berdiri di tengah-tengah kenajisan yang merebak ditengah-tengah manusia atau umat Tuhan adalah ini sebagaimana ia berkata: “aku ini hamba-Mu”  dan “atas firman-Mulah aku melakukan.”

Elia memiliki iman yang berbunyi " aku ini hamba-Mu" dan lebih nyata lagi inilah imannya itu "atas firman-Mulah...", dan ia  bekerja, ia merespon, ia menjawab, ia melayani Allah di tengah bangsa-bangsa yang tak mengenal-Nya. Elia menunjukan imannya dengan perbuatan-perbuatan, bukan omong kosong sehingga menjadi alat yang memuliakan Allah!! bagaimana mungkin memuliakan Allah kalau hanya mendekam dalam kehendak diri dan tidak melayani kehendak Allah di hadapan manusia?




 Ketika Yesus berkata:

Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu.


Tidak ada yang misterius baginya, tetapi jelas begitu misterius dan begitu mencekam pada realita “tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu.” Tidakkah demikian? Tetapi yang lebih penting lagi, maukah saya dan anda menunjukan iman  kepada dunia berdasarkan iman pada kebenaran yang disabdakan oleh Kristus? Termasuk sabda yang sukar untuk diterima ini?


Ya sukar…. Tetapi begitulah sabda-Nya. Tinggal apakah saya dan anda mau berkata  dalam kerendahan yang serendah-rendahnya dihadapan Bapa, sebagaimana Elia yang hebat itu tapi berkata “aku ini hamba-Mu.” Ia bahkan tak berkata “aku ini nabi-Mu,” dan kemudian menunjukannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan ini tidak mungkin mengelabui iblis karena jika anda dan saya bukan yang dipanggil-Nya maka iblis begitu leluasa menyergap dan membinasakanmu pada puncaknya.

Dan puncak di atas semua ini, pada kasus Elia, adalah: manusia memuliakan Allah ketika ia  atau siapapun yang beriman pada sabda Allah dan Kristus menunjukan imannya dengan perbuatan-perbuatan:

Ketika seluruh rakyat melihat kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: "TUHAN, Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!"- 1 Raja-Raja 18:39

Hal yang sama juga ditunjukan Yesus setelah Ia berkata ” Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa” dengan berkata:


“Sesudah itu berpalinglah Yesus kepada murid-murid-Nya tersendiri dan berkata: "Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat.” Karena Aku berkata kepada kamu: Banyak nabi dan raja ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya."- Lukas 10:23-24

Ingatlah, yang dimaksud dengan melihat adalah visual dan sekaligus melampaui visual. Jadi jangan pernah mengatakan  kalau teks ini terkurung oleh ruang dan waktu lampau di mana materialnya atau Yesus sendiri sudah tidak ada lagi. Mengapa demikian? Karena Yesus sendiri menyatakan bahwa melihat dirinya adalah visual dan melampaui visual-bukan merupakan identifikasi indera mata saya dan anda, tetapi ini: “tidak ada seorangpun yang tahu siapakah Anak selain Bapa, dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakan hal itu.” Dengan kata lain tak ada yang sanggup mengenali keselamatan dari Allah berdasarkan pekerjaan dirinya sendiri bahkan indera matanya, sampai Yesus memanggilnya atau berkenan menyatakan dirinya kepada orang tersebut. Karena itulah, untuk berkata "aku menunjukan iman dengan perbuatan-perbuatan" merupakan kasih karunia yang tak bertara bagaimanapun juga.


Kekudusan diri atau berdasarkan diri, bukan dasar pemberian kasih karunia. Siapakah yang menjadi pemula pengudusan diri dihadapan Allah? Siapakah yang sanggup menentukan kekudusan Allah berdasarkan standard-standard manusia bagi Allah? Yesus Sang Mesias sudah menunjukan siapapun akan gagal sama sekali untuk menjadi pandu kekudusan pada dirinya bagi manusia lainnya. Salah satu yang dinyatakan Yesus adalah ini:

“Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.”- Matius 5:27-29

Jika anda ingin membangun kekudusan berdasarkan pekerjaanmu maka harus mengacu kepada standard yang sejak semula akan memeriksa dan menghakimi perilaku jiwa yang terbungkus oleh perbuatan-perbuatan luhur tubuh jasmaniah dan perkataan-perkataan hikmat. Rasul Yakobus secara unik menekankan kebenaran ini:

“Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri", kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran. Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya. Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.- Yakobus 2:8-11

Siapakah yang tahu bahwa anda sedang tidak memandang atau sedang memandang muka pada manusia lainnya sehingga menghasilkan mengasihi sesama yang gagal seperti anda mengasihi dirimu sendiri- kasihmu pada sesama menjadi lebih rendah takarannya dibandingkan anda mengasihi diri sendiri? Tidak ada yang tahu dan mustahil bahkan bagi anda untuk menghakimi diri sendiri dikarenakan begitu kayanya manusia dalam membangun rasionalisasi untuk berbeda dalam takaran kasih, berujung “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” hanyalah patung-patung kebajikan yang dilontarkan oleh lidah-lidah yang fasih menyebut Tuhan, Tuhan aku mengasihimu.


Pada faktanya memang hukum Taurat hanyalah monumen bagi para moralis, termasuk bagi para guru berlabel Kristen yang membangun nilai pada memperjuangkan kekudusan diri secara terus menerus sebagai nilai material yang dapat dijangkau perbuatan dan karya jiwa manusia, lalu bercuap setinggi langit dan merangkai kata dalam melodi yang melantun indah di tangga-tangga nada, tetapi ia sendiri akan senantiasa gagal memenuhi tanpa cela kesempurnaan Taurat sebagaimana diajarkan oleh Rasul Yakobus.


Rasul Yakobus sendiri secara jujur menunjukan bahwa fondasi kebenaran orang Kristen bukan pada hukum Taurat tetapi pada iman, iman yang menunjukan bahwa ia beriman kepada Allah yang memanggilnya dengan panggilan kudus, bersekutu dengan kehendak Allah yang kudus di dalam kehidupannya sementara ia memiliki iman:

“Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku."- Yakobus 2:18


Kalau anda berkata saya mengasihimu maka kasih itu tertunjukan. Kalau anda mengasihi isteri dan mengasihi anak-anakmu, itu tertunjukan, secara alami. Rasul Yakobus berkata: “aku akan menunjukan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” Sebuah iman yang jika benar-benar beriman maka tak tertahankan akan melahirkan perbuatan-perbuatan oleh ragawinya. Itu pasti, seperti anda tak mungkin untuk tak mencium anak dan isterimu jika memang benar mengasihinya. Dasar atau patron kudus Yakobus untuk berkata “aku akan menunjukan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” adalah  melakukan kasih berdasarkan hukum yang berbunyi “jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Rasul Yakobus pada dasarnya menghendaki kehidupan beriman yang aktual, dan jika kehidupan beriman itu bersekutu dalam persekutuan yang kudus dengan Allah maka perbuatan iman itu akan memiliki kekudusannya sendiri melampaui apa yang dimintakan namun tak mungkin dipenuhi pada kekudusan berdasarkan hukum taurat.


Harus dicamkan ketika Yakobus MENUNJUKAN IMAN DENGAN PERBUATAN, ia tidak merujuk pada Taurat tetapi ini:

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;” sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.- Yakobus 1:19-22


Apa yang sedang ditunjukan rasul Yakobus  adalah kebenaran hidup didalam Kristus yang telah menyelamatkan jiwa manusia berdasarkan karya penebusan di kayu salib yang telah menaklukan maut dalam kebangkitannya, yang berlandaskan pada iman kepada Allah di dalam Kristus sebagai kebenarannya, bukan kebenaran yang berlandaskan pada kebenaran diri di hadapan Allah berdasarkan kesempurnaan pada ketaatan pada Taurat. Ini bahkan secara kuat dinyatakannya dalam kehidupan berdoa orang beriman :

“Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.- Yakobus 5:14-15


Bahwa Yakobus menunjukan bahwa tidak ada manusia yang sanggup membangun kebenarannya berdasarkan pekerjaan diri dalam mengejar kebenaran yang bahkan berdasarkan  hukum Taurat, nyata terlihat dari kesadarannya akan  ketakberdayaan membangun kebenaran berdasarkan Taurat dan menunjukan solusinya terletak pada pengampunan Allah saja:

“Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya.”- Yakobus 5:15-16


saling mengaku dosamu” menunjukan hakikat umat Allah yang tak memiliki dasar kebenaran dan dasar pengampunan akan datang dari ketaatan pada taurat atau berjuang terus-menerus hingga mencapai kekudusan berdasarkan  ketaatan pada kehendak Allah dalam Taurat. Itu sebabnya rasul Yakobus secara gamblang menulis: “doa yang lahir dari iman” ditautkannya dengan “jika ia telah berbuat dosa maka dosanya itu akan diampuni.” Kehidupan “kutunjukan imanku dengan perbuatan-perbuatan” nyata di sini, tetapi kita melihat dalam cara yang sungguh berbeda. Jika aku beriman bahwa kebenaranku tidak datang dari ketaatanku pada taurat tetapi berdasarkan panggilan yang kudus, maka kehidupan imanku yang kudus kutunjukan dengan betapa pentingnya aku menyatakan kekudusan Allah dalam keseharianku. 

Jadi jangan pernah berpikir bahwa teks ini atau ajaran rasul Yakobus ini bagaikan mekanisme mekanikal penghapusan dosa setelah aku berbuat dosa, bagaikana jalan  cepat dan begitu mengenakan daging yang asyik bercumbu dengan dosa. Kita harus ingat rasul Yakobus tegas berkata “aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.”


Bagaimana denganku sendiri? Bagaimana dengan anda? Tentu banyak sekali hal yang harus kita bangun dari waktu ke waktu dalam gaya hidup “ aku akan menunjukan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.”


Mari kita jadikan ini sebuah gaya hidup dan pastikan dengan penuh keberanian pada diri sendiri agar pengudusan itu nyata, walau sakit, sukar bahkan meneteskan air mata. Hidup ini singkat dan fana, ya. Hidup ini kasih karunia dan tak sedikitpun andilku untuk keselamatanku, karena Kristus, ya. Karena itulah TUNJUKANLAH ITU KEPADA DUNIA! Dan omong kosong kalau kita tidak menunjukan  kepada orang lain imanku dari perbuatan-perbuatanku.


Akhirnya saya ingin berkata begini, jangan disesatkan dengan realita bahwa kita bukan manusia instan terhadap kebenaran dalam hasrat dan perbuatan lantas menjadikan perbaikan diri dan pembangunan diri beserta moralitas dan kemuliaan sebagai sentral atau gravitasi perjalanan iman dan gravitasi beriman kepada Kristus untuk memiliki keselamatan dan kekudusan. Ingatlah bahwa kekudusan tidak akan pernah dimiliki jika gravitasi kebenarannya adalah harus senantiasa membangun karakter, membangun manusia baru, membangun kebiasaan-kebiasaan ilahi karena dalam hal itupun tidak akan membuat api Tuhan turun dari langit.

Soli Deo Gloria


Comments